Rabu, 17 Desember 2014

Pemimpin Seperti Musa

Tidak mudah untuk menjadi seorang Musa. Sejak Yahwe memanggilnya, ia harus menanggalkan statusnya sebagai putera istana. Ia harus keluar dari zona nyaman yang selama ini ia nikmati. Bahkan untuk itu, Musa pun sempat bersoal jawab dengan Yahwe dan mengajukan keberatannya. Pasalnya, ia diutus Tuhan demi sebuah misi yang besar, membebaskan rakyat Israel dari perbudakan Mesir! “Putera-putera Israel, seraya berkeluh-kesah di dalam perbudakannya, berseru-seru meminta pertolongan, dan dari dalam jurang perbudakan mereka, teriakan mereka meminta pertolongan itu sampai kepada Allah. Allah mendengarkan keluh-kesah mereka dan mengingat kembali akan perjanjian-Nya.” (Kel 2.23-24) Itu juga berarti, Musa harus melawan Firaun dan kaum yang telah membesarkannya.

Setelah membawa mereka menyeberang Laut Merah, Musa pun harus menjadi pemimpin mereka. Pada awalnya rakyat Israel begitu gembira dan patuh terhadap setiap arahan Musa. Bersama Musa, mereka berjanji setia pada Yahwe. Namun, kesetiaan mereka pun pada akhirnya harus diuji. Pengembaraan panjang selama 40 tahun di padang gurun terik, tanpa arah yang pasti, mengubah persepsi rakyat Israel terhadap janji dan kebebasan yang telah diberikan Yahwe. Mereka menggerutu, marah kepada Yahwe, dan Musa pun dipersalahkan!

Sungguh, tiada satupun yang akan menjadi pemimpin seperti Musa pada masa krisis. Terlalu berat tugas yang ditanggung. Menjadi pemimpin seperti Musa berarti mau mengatakan ya untuk  tugas pelayanan yang tidak berbatas, berani mengandalkan seluruh hidupnya pada Penyelenggaraan Ilahi, siap dicaci masyarakat, dan harus tetap bertanggungjawab untuk membawa mereka kepada kemerdekaan dan kebaikan. Namun, bukankah itu kriteria pemimpin yang sejati? (PHW)

Sumber gambar : tripwow.tripadvisor.com

Selasa, 16 Desember 2014

Rapuh Seperti Patung

Kami memiliki tiga patung Bunda Maria. Ketiga-tiganya kami pajang di atas lemari buku. Patung pertama dan kedua merupakan suvenir yang diberikan teman dan adik kami. Kedua patung itu tampak cantik meski ukurannya tidak sebesar patung ketiga. Patung ketiga adalah patung Bunda Maria yang berukuran besar. Tingginya sekitar 50 cm. Di belakang kepalanya terselip korona besi. Hidung patung ini pun tampak lebih mancung. Sekilas patung ini mirip boneka Barbie. Kendati begitu, patung ketiga ini tetap tidak secantik kedua patung yang lain. Mengapa? Patung ini cacat. Pergelangan tangan di lengan kirinya hilang entah kemana.

Kitab Kejadian menyatakan bahwa manusia diciptakan seturut citra Allah. Sifat-sifat Allah menurun di dalam dirinya. Akal dan budi yang dimiliki manusia menjadi bukti dari hal itu. Namun, akal dan budi sering dimatikan. Manusia pun kerap jatuh ke dalam dosa.  Kendati sedih, Allah tetap menyayangi manusia. Di mata Allah, manusia tetaplah sempurna. Belas kasih Tuhan membuat wajah manusia tidak bercacat cela.

Kita serupa patung. Meski penampilan fisik dan mental begitu prima dan menawan, kita begitu rentan. Mudah retak dan pecah. Mudah jatuh dalam kesombongan dan pencobaan. Segala prestasi dan kelebihan yang kita miliki di dunia ternyata tidak membuat diri kita tampak lebih baik di hadapan Tuhan. Sungguh kita serupa patung yang cantik tapi cacat.

Untuk itu, pesan Injil selalu menuntut kita untuk bersikap rendah hati seraya selalu memohon belas kasih Tuhan. Bersama-Nya, kerentanan dapat diubah menjadi energi positif untuk terus memperbaiki diri. Suka tidak suka, inilah pembelajaran yang harus kita jalani seumur hidup. Tidak mudah memang. Namun, kita yakin dan percaya bahwa belas kasih Tuhan membantu kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik setiap saat. (PHW)

Sumber Gambar : legacyoftherealms.obsidianportal.com