Tidak
mudah untuk menjadi seorang Musa. Sejak Yahwe memanggilnya, ia harus menanggalkan statusnya
sebagai putera istana. Ia harus keluar dari zona nyaman yang selama
ini ia nikmati. Bahkan
untuk itu, Musa pun sempat bersoal jawab dengan Yahwe dan mengajukan
keberatannya. Pasalnya, ia diutus Tuhan
demi sebuah misi yang besar,
membebaskan rakyat Israel dari perbudakan Mesir! “Putera-putera Israel, seraya berkeluh-kesah di dalam
perbudakannya, berseru-seru meminta pertolongan, dan dari dalam jurang
perbudakan mereka, teriakan mereka meminta pertolongan itu sampai kepada Allah.
Allah mendengarkan keluh-kesah mereka dan mengingat kembali akan
perjanjian-Nya.” (Kel 2.23-24) Itu juga berarti, Musa harus melawan Firaun
dan kaum yang telah
membesarkannya.
Setelah
membawa mereka menyeberang Laut Merah, Musa pun harus menjadi pemimpin mereka.
Pada awalnya rakyat Israel begitu gembira dan patuh terhadap setiap arahan Musa.
Bersama Musa, mereka berjanji setia pada Yahwe. Namun, kesetiaan mereka pun
pada akhirnya harus diuji. Pengembaraan panjang selama 40 tahun di padang gurun
terik, tanpa arah yang pasti, mengubah persepsi rakyat Israel terhadap janji
dan kebebasan yang telah diberikan Yahwe. Mereka menggerutu, marah kepada Yahwe,
dan Musa pun dipersalahkan!
Sungguh,
tiada satupun yang akan menjadi pemimpin seperti Musa pada masa krisis.
Terlalu berat tugas yang ditanggung. Menjadi pemimpin seperti Musa berarti mau
mengatakan ya untuk tugas pelayanan yang
tidak berbatas, berani mengandalkan seluruh hidupnya pada Penyelenggaraan
Ilahi, siap dicaci masyarakat, dan harus tetap bertanggungjawab untuk membawa mereka
kepada kemerdekaan dan kebaikan. Namun, bukankah itu kriteria pemimpin yang
sejati? (PHW)
Sumber gambar : tripwow.tripadvisor.com